Hikmah dibalik Ibadah Qurban


Salah satu ibadah dalam Islam yang tidak dapat dipisahkan dari Hari Raya Idul Adha adalah ibadah qurban. Ibadah qurban bukan hanya prosesi penyembelihan hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha dan tiga hari sesudahnya, hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) tetapi juga memiliki makna yang sangat dalam.

Pengertian
Qurb atau qurbân berarti “dekat” dengan imbuhan ân (alif dan nun) yang mengandung arti “kesempurnaan”, sehingga qurbân yang diindonesiakan dengan “kurban” berarti “kedekatan yang sempurna”. Kata Qurbân berulang tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS.Ali Imran/3: 183, al-Ma’idah/5: 27, dan al-Ahqaf/46: 28. Jadi, qurban adalah penyembelihan binatang tertentu yang dilakukan pada hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (hari tasyrik), yakni pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam ilmu fiqh, qurban juga disebut udhḫiah (karena dilaksanakan dalam suasana idul adha) juga berasal dari kata dahwah atau duhaa (waktu matahari sedang naik di pagi hari), karena biasanya penyembelihan hewan qurban dilaksanakan pada waktu duha. Dari kata dahwah atau duhaa tersebut diambil kata daahiyah yang bentuk jamaknya udhḫiah.

Dasar Hukum
Dasar hukum pelaksanaan qurban adalah firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (Q.S.al-Kautsar/108: 1-3).
Dasar kedua adalah firman Allah SWT yang artinya: “Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagaian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (Q.S.22: 36).
Selain itu Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memperoleh suatu kelapangan, tetapi dia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” (HR.Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, Abu Hanifah (Imam Hanafi) memandang bahwa menyembelih kurban hukumnya wajib. Kewajiban itu berlaku untuk setiap tahun bagi orang yang bermukim (menetap) dalam kampung. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama yang terdiri dari Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) memandang bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban bukan wajib, tetapi sunah muakkad (sunah yang dikuatkan).
Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Dzulhijah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, hendaklah ia menahan (diri dari memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan dikurbankan)” (HR Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).
Jumhur ulama yang berpendapat bahwa kurban itu boleh tidak dilakukan didasarkan pada kalimat: “salah seorang yang melakukannya adalah lebih baik. Dalam hadits lain disebutkan secara tegas oleh Rasulullah SAW: “Ada tiga hal yang wajib atasku dan tatawwu (sunah) bagi kamu, yaitu: shalat witir, kurban, dan shalat duha”. (HR. Ahmad, al-Hakim, dan Daru Qutni dari Ibnu Abbas). Dengan hadits ini jumhur ulama memperjelas makna ayat yang mujmal (global) di atas dan menyimpulkan bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban adalah sunah muakkad.
Fiqh Qurban
Adapun persyaratan-persyaratan yang dituntut dalam pelaksanaan ibadah kurban adalah: (1) orang yang hendak melaksanakan ibadah kurban harus sanggup menyediakan binatang kurbannya tanpa berhutang; (2) binatang yang akan dikurbankan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(a) tidak cacat, yang bisa mengurangi dagingnya atau bisa menimbulkan bahaya.
(b) telah cukup umur, yakni unta harus berumur satu tahun atau lebih, sapi atau atau kerbau berumur dua tahun, domba berumur satu tahun, kambing berumur dua tahun atau sudah pupak (tanggal giginya).
(c) disembelih pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’ yaitu pada hari raya idul adha atau pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, atau 13 Dzulhijjah).

(d) Empat macam binatang yang tidak mencukupi untuk kurban, yaitu: yang ketara buta sebelah matanya (auraak), yang jelas pincang kakinya (arjaak), yang jelas sakit badannya (maridhah), dan yang sakit otak yang hilang sumsumnya karena kurus/ajfaak (HRTirmizdi), menurut Imam Taqiyyudin Abu Bakar, dalam kitab Kifayat al-Akhyar, kurban tidak mencukupi binatang yang putus telinga atau ekornya, tetapi mencukupi berkurban dengan binatang yang dikebiri (khashi) dan pecah tanduk.

(e) Waktu menyembelih kurban adalah dari waktu shalat Id hingga terbenam matahari pada akhir hari tasyrik, seperti disebut dalam hadits Riwayat Bukhari-Muslim, “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum shalat (Hari Raya Haji), maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih kurban sesudah shalat dan dua khutbah, sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan (sunah) orang-orang Islam (HR.Bukhari-Muslim), dan

(f) Disunahkan ketika menyembelih kurban lima hal, yaitu: membaca bismillah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, binatang yang disembelih dihadapkan ke kiblat, bertakbir, dan berdo’a agar diterima Allah SWT, dan (3) orang yang melakukan kurban hendaklah beragama Islam yang merdeka, akil baligh, berakal, dan menurut Abu Hanifah, bermukim (bukan musafir). Oleh sebab itu, orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak sah kurbannya. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I, dan Mazhab Hanbali memandang sah juga orang musafir melakukan ibadah kurban.

Faidah dan pahala berkurban tergambar dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah pada hari raya haji (selain) dari mengalirkan darah (berkurban). Sesungguhnya orang yang berkurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang kurban itu dan sesungguhnya darah (kurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah SWT dari (darah itu) jatuh di permukaan bumi. Maka sucikanlah dirimu dengan berkurban” (HR.al-Titmidzi dan Ibnu Majah dari Aisyah).

Mengenai daging kurban, jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali membolehkan orang yang melaksanakan kurban memakan sedikit dari daging kurbannya itu, kecuali kurban yang dinazarkan. Menurut ulama Mazhab Hanafi, memakan kurban yang dinazarkan adalah haram. Akan tetapi Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali membolehkannya. Adapun menurut ulama Mazhab Syafi’I, kurban yang dinazarkan memang tidak boleh dimakan dagingnya, tetapi kurban biasa (kurban sunah) hukumnya sunah untuk memakan sebagian kecil dagingnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: “...maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta…” (Q.S.22: 36). Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaki disebutkan: “Bahwa Rasulullah SAW memakan hati hewan kurbannya”.

Dari : Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar